Friday 12 August 2016

CERBER : BATAS RUMPUT DAN SALJU BAGIAN 1 HAL 1

3:37 pm

Share it Please
Penulis : Tati Mulyani (Lottati Mulyani)
Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2000
Rumah panggung dari kayu itu masih tampak kokoh, meski beberapa bagian kayunya mulai keropos. Pintunya tertutup rapat, namun daun jendela di kirinya terbuka lebar. Aku termangu di situ menatapi gerimis yang turun malu-malu.
Bunyi rintik hujan terdengar berirama di atap. Menyenandungkan keriaan saat hujan, membuat rumput liar seakan menari riang karena mendapat kesegaran.
Seirama rintik hujan menari pula bayangan di mataku. Bayangan yang mulai membentuk lamunan. Di sini, di tempat yang sama, saat gerimis yang sama pula, aku menatapi rerumputan liar.
“Hijau adalah kedamaian, Nak,” begitu menurut Kakek sambil menunjuk rumput di halaman.
Aku menatap Kakek dengan tak mengerti. Dia mengelus rambutku dan berkata, “Suatu saat nanti kau akan tahu.”
Aku menggeleng. Tak yakin dengan ucapan itu, karena aku belum paham. Juga sampai saat ini, di usiaku yang sudah berpangkal dua.
Ke hutan bersama Kakek adalah saat menyenangkan. Serasa berekreasi. Ditemain Renggani, anak Dokter Satrio, dokter puskesmas yang pernah mengobatiku karena sakit cacar. Bersamanya aku membuat kemah. Sementara Kakek sibuk mencari bahan penelitian, aku dan Gani malah sibuk mencari jejak seperti anggota Pramuka.
Dengan Gani pula aku jadi bersemangat ke gereja. Lebih menyenangkan meski hanya jalan kaki. Kalau aku pergi bersama Kakek, akan terasa membosankan bagiku. Bukannya cepat pulang selesai misa, Kakek malah asyik bercengkerama dengan Romo dari Cepu. Beliau memang hanya datang ke kota kami sekali dalam dua pekan, untuk memimpin misa. Jadi memang kehadirannya sangat dibutuhkan umat di gereja.
Pulang dari gereja kami akan main di sawah. Duduk di dangau membaca buku cerita yang Gani bawa dari kota. Sambil mengusir burung atau membuat seruling dari tangkai padi saat musim panen. Tapi, semua itu kami jalani saat libur sekolah Gani.
Dulu Gani pernah bertanya kenapa di usia sepuluh tahun aku belum juga bersekolah, seperti anak-anak yang lain. “Padahal kakekmu punya banyak uang,” katanya membuatku menjadi sedih.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Saat pagi hari aku menyiram tanaman, banyak anak dengan seragam sekolah, ada beberapa yang tanpa alas kaki, berjalan melewati depan rumah Kakek. Mereka akan memanggil namaku dan melambaikan tangan. Lalu aku membalasnya. Dan itu menyenangkan sebelum Gani menanyakan hal itu.
Begitu sampai di rumah kusampaikan hal ini pada Kakek dengan mata basah.
“Lho, Ibu Yanis itu guru sekolah Koko. Koko tidak perlu sekolah jauh dari rumah. Mereka pergi ke sana karena tidak mempunyai guru di rumah,” jawab Kakek, membuat airmataku terhenti.
Kuingat Bu Yanis, salah seorang teman Kakek yang membuka kelas untukku tiga kali dalam seminggu. Diajarinya aku menulis, berhitung, bahasa dan tentang tanaman yang menjadi bagian pekerjaannya.
Saat kembali bersama Gani, dengan bangga kukatakan bahwa selama ini aku bersekolah di rumah. Tapi, Gani malah tertawa mendengarnya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya merasa lucu. Yang penting aku sudah menjawab pertanyaannya. Itu kan sudah cukup!
Bu Yanis gemar sekali menceritakan masa kecilnya di negeri bersalju. Dia seorang peranakan Jawa-Belanda. Ibunya orang Semarang, ayahnya serdadu, dan keduanya bertemu sebagai perawat dan pasien sewaktu perang.
Musim salju, bola salju, main ski, baca buku dan coklat hangat adalah kumpulan ceritanya. Dan aku akan terkagum-kagum mendengarnya sambil berangan-angan suatu saat aku akan tinggal di sana.
“Apakah rumput dan salju bisa bertemu?” tanyaku membayangkan rumput di halaman ditaburi salju yang putih bersih. Alangkah cantiknya!
“Tentu. Karena rumput bisa hidup dalam segala musim. Tapi, dia tak akan terlihat karena salju akan menutupinya. Yang terlihat hanya salju di mana-mana. Sampai dia harus dikeruk dengan mobil khusus karena menutup jalan dan sering membuat kecelakaan,” tutur Bu Yanis.
“Kalau begitu, alangkah jahatnya salju,” ujarku sedih.
“Tidak juga. Karena Tuhan menciptakan segala sesuatunya dengan kekurangan dan kelebihan,” Bu Yanis mengakhiri cerita.
Kucoba menelan kalimat terakhir itu meski aku belum tahu.
Natal pun salah satu peristiwa yang menyenangkan. Sehari sebelum Natal aku bersama Kakek akan pergi ke Cepu, membeli hadiah untuk saling ditukarkan. Hadiah ditukar dengan hadiah dari Gani, Bu Yanis, Teto anak Pak Miko, pegawai Perhutani yang tinggal di depan gereja, dan beberapa teman sekolah Minggu. Hadiahnya tidak mahal, tapi pasti berguna, seperti buku, penghapus, pensil atau pulpen. Tapi, yang sering, aku mendapat hadiah yang lebih bagus dari benda-benda itu. Dari Gani dan Teto. Bahkan Gani pernah memberiku patung Santa Claus lengkap dengan kereta dan rusanya dari keramik Cina.
“Ini juga sebagai kenang-kenangan untukmu,” katanya membuatku bingung.
“Memang kenapa?”
“Aku tidak akan di sini lagi. Bulan depan Papa pindah tugas ke kota lain,” jawab Gani dengan hati-hati.
Rasanya ada yang terbang dan lepas saat Gani mengucapkan maksudnya. Kubayangkan aku akan sendiri ke gereja atau pergi bersama Kakek dan menunggunya. Betapa akan membosankan!
“Kau bisa pergi ke gereja bersama Teto,” usul Gani seperti bisa menebak pikiranku.
Aku tak habis pikir. Selama ini Gani selalu memusuhi Teto. Bahkan Teto pernah dipukulnya hanya karena Teto duduk bersamaku di sekolah Minggu. Sebenarnya salah Gani sendiri. Saat kutunggu di rumah dia tak datang-datang, akhirnya aku pergi ke gereja sendiri. Aku bertemu Teto di depan gereja. Aku pun bersamanya dan duduk sebangku. Lalu tiba-tiba Gani muncul. Wajahnya tak sedap menatap kami berdua. Dan tanpa banyak cerita terjadilah aksi penonjokan itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku meyakinkan Gani.
“Rasanya dia baik padamu.”
Kalau kuingat lagi, kalimat itu terdengar pahit dan sangat pasrah.
“Tapi aku janji, aku akan datang kembali dan membawamu pergi dari sini untuk tinggal bersamaku. Kau mau?” Gani menatapku seperti orang dewasa menatap kekasihnya.
“Aku pasti mau!” sahutku membayangkan seperti yang pernah Bu Yanis ceritakan. Seolah saat itu Gani akan pergi ke sana.
“Kau janji untuk itu?” pinta Gani.
“Ya, aku janji. Aku tidak akan pergi ke sana sebelum kau menjemputku!” kataki tanpa berpikir panjang.
Sepeninggal Gani, Teto menjadi penggantinya. Tapi, mereka sangat berbeda. Teto tak pernah memaksaku berbuat seperti yang dia mau. Dia membolehkan aku berbuat sesukaku. Tidak seperti Gani yang akan berteriak marah jika aku tak sependapat dengannya.
Namun, benang yang kuurai untuk Teto harus kugulung lagi ketika Kakek mulai sakit-sakitan. Satu hal yang paling kutakuti pun terjadi. Kakek harus dirawat di rumah sakit pemerintah di Blora. Kami pun boyongan dengan bantuan Bu Yanis. Dia yang mengurus semuanya. Tanpa pamrih apa-apa. Dia begitu setia.
“Ibu sayang padanya?” tanyaku suatu saat.
Wanita itu menatapku. Lalu lengannya yang halus mulus merengkuhku ke dalam pelukan. Meluncurlah segala keinginan dari dalam hatinya. Kurasakan ada yang menghangat di kepalaku. Ibuku menangis.
“Aku ingin menemaninya hingga akhir hidupnya,” ujar Bu Yanis dalam isak tangisnya.
Aku percaya, Bu. Rasanya aku sudah mulai mengerti akan hal ini.
Cerita milik Kakek pun berakhir. Dan aku benar-benar sendiri.
Bersambung ke halaman berikutnya yaa…

1 komentar:

  1. Wynn Slots for Android and iOS - Wooricasinos
    A free app for slot machines from 바카라 패턴 WRI Holdings 안전한 바카라 사이트 Limited that lets 포커 you play the popular games, such as free video slots, 토토사이트 table games and live casino

    ReplyDelete