Penulis : Tati Mulyani (Lottati Mulyani)
Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2000
Kini, aku kembali setelah lebih dari sepuluh tahun tinggal bersama Bu Yanis. Aku menjadi anak angkatnya. Sebulan sekali dia menjenguk dan memberiku uang pensiun Kakek. Entah kenapa aku bisa mendapatkannya. Kembali Bu Yanis yang mengurus semuanya. Dengan uang itu aku mencoba merintis usaha tanaman hias. Karena, tanpa ijazah, tak memungkinkan bagiku untuk menjadi pegawai kantoran. Paling banter aku cuma jadi buruh tani. Entah kenapa Kakek tak mempunyai niat untuk menyekolahkanku. Ini pun aku tak mengerti.
Teng teng teng! Dentang lonceng
menembus gerimis yang telah berganti hujan. Meski deras, suaranya masih
terkalahkan oleh suara lonceng gereja.
Aku bergeser. Kutarik daun
jendela. Kukunci dengan gerendel. Terakhir kututup daun tirai jendela. Aku masuk
kamar. Tidak lama kemudian aku ke luar setelah berganti pakaian.
Kuambil sepasang sepatu karet
milik Kakek dari lemari jati tua yang berwarna hitam. Juga mantel hujan yang
terlipat rapi di lacinya. Kukenakan semua itu dan melangkah ke luar pintu.
Aku merasa sangat letih menunggu.
Berharap selembar masa laluku bisa tertulis kembali. Atau paling tidak segores
kalimat yang sama bisa kubaca dengan seseorang.
Gereja sepi. Mungkin umat lebih
senang menghadap Tuhan di hari Minggu. Saat Tuhan libur dengan pekerjaanNya? Aku
tersenyum sendiri dengan kalimat tolol yang kupikirkan. Cepat-cepat aku berdoa
memohon maaf atas pikiranku yang nakal. Dan juga memohon suatu keajaiban dari
Tuhan.
Setahuku, dulu misa hanya
dilakukan di Minggu pagi saja. Tapi mungkin, sekarang berubah. Seiring perubahan
fisik gereja yang kini lebih besar dan bagus dibanding dulu.
Aku merasa seseorang
memperhatikanku. Sejak aku melepas sepatu yang berlumpur dan mantel yang basah di
teras gereja.
Seorang wanita dengan
tergopoh-gopoh duduk di sebelahku. Rambutnya tampak sedikit basah karena hujan.
Dia pun segera berdoa. Berharap kehadirannya diterima olehNya.
Dan ketika Madah Tuhan
dikumandangkan , serasa ada yang menyiram perasaanku. Rasa sejuk menelusup ke
relung-relung hatiku. Sesuatu yang tak pernah kudapatkan selama ini. Apalagi
saat Imam membagi hosti, sepertinya
berjuta kedamaian akan segera kutelan.
Misa telah selesai. Namun, hujan masih
tetap menari di luar. Membuatku enggan untuk menerobosnya. Aku berjalan ke
luar. Tepat di depan gereja, berseberangan dengan jalan raya, sebuah rumah
masih berdiri. Kali ini dengan penghuni yang berbeda. Dulu di rumah dinas milik
Perum Perhutani itu aku sering bermain kartu bersama keluarga Teto. Ibu Teto
yang mengajariku. Dan Teto akan mengantarku pulang jika hari telah malam.
Beberapa orang berdiri menunggu
hujan. Salah seorang di antaranya ibu tua yang tadi tergopoh-gopoh di sisiku. Wajahnya
tampak memelas menatap hujan. Dengan rasa iba aku menghampirinya.
“Ibu pulang ke mana?” tanyaku
tanpa basa-basi.
Ibu itu terkejut menatapku. Namun,
begitu sadar bahwa aku yang tadi duduk bersamanya, senyum ramahnya mengembang. Dia
menyebutkan suatu tempat. Aku pernah mengenal daerah itu. Cukup tak mengenakkan
jalan ke sana dalam hujan seperti ini. Terlebih tanpa payung atau pelindung
hujan seperti ibu itu.
“Saya bisa mengantar Ibu pulang,”
aku menawarkan bantuan.
Ibu itu menatap tak percaya.
“Ibu kenakan saja mantel ini,”
kataku sambil mengangsurkan mantel yang sudah agak kering.
“Kau sendiri?” Ragu-ragu wanita
itu menerimanya.
“Tidak apa-apa,” sahutku bersungguh-sungguh.
Dengan agak sungkan wanita itu
mengenakan mantel. Kami berjalan beriringan. Dan kembali pria yang tadi
memperhatikan kejadiranku di dalam gereja menatap sampai kami hilang dari
pandangan.
“Saya Harbi,” kata wanita itu
mengenalkan diri.
“Conny,” aku menyebut namaku.
“Di mana tempat tinggalmu, Conny?”
“Tidak jauh dari Balai Pertanian,”
sahutku seraya menggandeng wanita yang tampak kesulitan berjalan di jalan yang
becek itu.
“Berdekatan dengan Mantri Balijati?”
Bu Harbi menyebut nama kakekku.
“Saya tinggal di rumahnya.” Dulu
Kakek terkenal dengan sebutan Mantri Pertanian oleh orang-orang kampung karena
jabatannya sebagai kepala pertanian di situ.
“Kau masih keluarganya?”
“Kebetulan saya cucunya.”
“Benarkah?” tanya Bu Harbi
menatapku seakan meneliti.
“Ya.”
“Puji Tuhan,” Bu Harbi mengucap
syukur.
“Kenapa, Bu?” tanyaku tak
mengerti.
“Nenekmu, istri Mantri Balijati,
masih sepupuku. Kami berasal dari Pekalongan. Tapi, Mbak Harti, nenekmu itu,
pindah ke Salatiga mengikuti orangtuanya. Di sana dia bertemu kakekmu dan
menikah. Sampai kami bertemu lagi di sini. Tapi, tidak dengan nenekmu,
melainkan suaminya yang datang membawa cucu,” tutur Bu Harbi singkat.
Aku ingat, berdua Kakek aku datang
ke Randublatung, nama kecamatan yang membawahi desa-desa kecil dan terpencil di
pinggir hutan. Aku baru lima tahun dan Ibu baru meninggal karena sakit
paru-paru. Sebulan setelah Ibu meninggal Bapak menikah lagi dengan wanita,
entah siapa, aku tak mengenalnya. Karena tidak ingin cucunya menjadi anak tiri,
Kakek membawa aku untuk tinggal bersamanya di Randublatung.
“Kau tidak pernah menemui
bapakmu?” tanya Bu Harbi mengusik kenanganku akan Bapak.
“Sejak pindah ke sini saya tidak lagi
berhubungan dengan Bapak. Sepertinya Kakek sengaja menjauhkan kami. Mungkin karena
Kakek sakit hati lantaran Bapak selalu menyakiti Ibu selama hidupnya,” kataku
jujur.
“Bagaimana dengan keluargamu di
Salatiga?”
“Itulah, Bu, saya sendiri tidak
tahu,” kataku menggeleng pasrah. Kakek tidak pernah bercerita apapun tentang
keluarga. Sepertinya Kakek sengaja mengasingkan diri bersamaku di sini.
“Kakekmu asli Salatiga. Ayahnya Belanda
yang bekerja di kantor Pegadaian. Mungkin kakekmu pernah bercerita. Dia mempunyai
dua orang saudara perempuan. Mereka tinggal di Salatiga dan mempunyai banyak
keturunan, tidak seperti kakekmu yang hanya mempunyai ibumu. Ibu saya pernah
mengunjunginya sewaktu ibumu menikah dengan bapakmu.”
“Kakek tidak pernah cerita itu
semua,” sahutku lirih.
“Tidak pernah?” suara Bu Harbi
terdengar tak percaya. Wanita itu menggeleng-geleng, merasa aneh. Seperti juga
aku. Kadang-kadang aku merasa aneh sendiri dengan kehidupanku. Entah misteri
apa yang dibuat Kakek untukku.
“Itu rumah Ibu, Conny!” Bu Harbi
menunjuk rumah papan dari kayu hutan yang diterangi lampu listrik. “Terima
kasih kau telah mengantarku pulang dan membiarkan tubuhmu kebasahan begitu,”
kata Bu Harbi merasa tak enak hati.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya malah
telah menemukan saudara. Dan itu imbalan yang sangat berharga buat saya,”
kataku tulus.
Aku pun bergegas pergi, diikuti
pandangan Bu Harbi yang merasa iba.
#Bersambung ke halaman berikutnyaaa...



0 komentar:
Post a Comment