Tuesday, 16 August 2016

CERBER : BATAS RUMPUT DAN SALJU BAGIAN 1 HAL 2 & 3

2:12 pm

Share it Please
Penulis : Tati Mulyani (Lottati Mulyani)

Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2000 

           Kini, aku kembali setelah lebih dari sepuluh tahun tinggal bersama Bu Yanis. Aku menjadi anak angkatnya. Sebulan sekali dia menjenguk dan memberiku uang pensiun Kakek. Entah kenapa aku bisa mendapatkannya. Kembali Bu Yanis yang mengurus semuanya. Dengan uang itu aku mencoba merintis usaha tanaman hias. Karena, tanpa ijazah, tak memungkinkan bagiku untuk menjadi pegawai kantoran. Paling banter aku cuma jadi buruh tani. Entah kenapa Kakek tak mempunyai niat untuk menyekolahkanku. Ini pun aku tak mengerti.


Teng teng teng! Dentang lonceng menembus gerimis yang telah berganti hujan. Meski deras, suaranya masih terkalahkan oleh suara lonceng gereja.
Aku bergeser. Kutarik daun jendela. Kukunci dengan gerendel. Terakhir kututup daun tirai jendela. Aku masuk kamar. Tidak lama kemudian aku ke luar setelah berganti pakaian.
Kuambil sepasang sepatu karet milik Kakek dari lemari jati tua yang berwarna hitam. Juga mantel hujan yang terlipat rapi di lacinya. Kukenakan semua itu dan melangkah ke luar pintu.
Aku merasa sangat letih menunggu. Berharap selembar masa laluku bisa tertulis kembali. Atau paling tidak segores kalimat yang sama bisa kubaca dengan seseorang.
Gereja sepi. Mungkin umat lebih senang menghadap Tuhan di hari Minggu. Saat Tuhan libur dengan pekerjaanNya? Aku tersenyum sendiri dengan kalimat tolol yang kupikirkan. Cepat-cepat aku berdoa memohon maaf atas pikiranku yang nakal. Dan juga memohon suatu keajaiban dari Tuhan.
Setahuku, dulu misa hanya dilakukan di Minggu pagi saja. Tapi mungkin, sekarang berubah. Seiring perubahan fisik gereja yang kini lebih besar dan bagus dibanding dulu.
Aku merasa seseorang memperhatikanku. Sejak aku melepas sepatu yang berlumpur dan mantel yang basah di teras gereja.
Seorang wanita dengan tergopoh-gopoh duduk di sebelahku. Rambutnya tampak sedikit basah karena hujan. Dia pun segera berdoa. Berharap kehadirannya diterima olehNya.
Dan ketika Madah Tuhan dikumandangkan , serasa ada yang menyiram perasaanku. Rasa sejuk menelusup ke relung-relung hatiku. Sesuatu yang tak pernah kudapatkan selama ini. Apalagi saat Imam membagi hosti, sepertinya berjuta kedamaian akan segera kutelan.
Misa telah selesai. Namun, hujan masih tetap menari di luar. Membuatku enggan untuk menerobosnya. Aku berjalan ke luar. Tepat di depan gereja, berseberangan dengan jalan raya, sebuah rumah masih berdiri. Kali ini dengan penghuni yang berbeda. Dulu di rumah dinas milik Perum Perhutani itu aku sering bermain kartu bersama keluarga Teto. Ibu Teto yang mengajariku. Dan Teto akan mengantarku pulang jika hari telah malam.
Beberapa orang berdiri menunggu hujan. Salah seorang di antaranya ibu tua yang tadi tergopoh-gopoh di sisiku. Wajahnya tampak memelas menatap hujan. Dengan rasa iba aku menghampirinya.
“Ibu pulang ke mana?” tanyaku tanpa basa-basi.
Ibu itu terkejut menatapku. Namun, begitu sadar bahwa aku yang tadi duduk bersamanya, senyum ramahnya mengembang. Dia menyebutkan suatu tempat. Aku pernah mengenal daerah itu. Cukup tak mengenakkan jalan ke sana dalam hujan seperti ini. Terlebih tanpa payung atau pelindung hujan seperti ibu itu.
“Saya bisa mengantar Ibu pulang,” aku menawarkan bantuan.
Ibu itu menatap tak percaya.
“Ibu kenakan saja mantel ini,” kataku sambil mengangsurkan mantel yang sudah agak kering.
“Kau sendiri?” Ragu-ragu wanita itu menerimanya.
“Tidak apa-apa,” sahutku bersungguh-sungguh.
Dengan agak sungkan wanita itu mengenakan mantel. Kami berjalan beriringan. Dan kembali pria yang tadi memperhatikan kejadiranku di dalam gereja menatap sampai kami hilang dari pandangan.
“Saya Harbi,” kata wanita itu mengenalkan diri.
“Conny,” aku menyebut namaku.
“Di mana tempat tinggalmu, Conny?”
“Tidak jauh dari Balai Pertanian,” sahutku seraya menggandeng wanita yang tampak kesulitan berjalan di jalan yang becek itu.
“Berdekatan dengan Mantri Balijati?” Bu Harbi menyebut nama kakekku.
“Saya tinggal di rumahnya.” Dulu Kakek terkenal dengan sebutan Mantri Pertanian oleh orang-orang kampung karena jabatannya sebagai kepala pertanian di situ.
“Kau masih keluarganya?”
“Kebetulan saya cucunya.”
“Benarkah?” tanya Bu Harbi menatapku seakan meneliti.
“Ya.”
“Puji Tuhan,” Bu Harbi mengucap syukur.
“Kenapa, Bu?” tanyaku tak mengerti.
“Nenekmu, istri Mantri Balijati, masih sepupuku. Kami berasal dari Pekalongan. Tapi, Mbak Harti, nenekmu itu, pindah ke Salatiga mengikuti orangtuanya. Di sana dia bertemu kakekmu dan menikah. Sampai kami bertemu lagi di sini. Tapi, tidak dengan nenekmu, melainkan suaminya yang datang membawa cucu,” tutur Bu Harbi singkat.


Aku ingat, berdua Kakek aku datang ke Randublatung, nama kecamatan yang membawahi desa-desa kecil dan terpencil di pinggir hutan. Aku baru lima tahun dan Ibu baru meninggal karena sakit paru-paru. Sebulan setelah Ibu meninggal Bapak menikah lagi dengan wanita, entah siapa, aku tak mengenalnya. Karena tidak ingin cucunya menjadi anak tiri, Kakek membawa aku untuk tinggal bersamanya di Randublatung.
“Kau tidak pernah menemui bapakmu?” tanya Bu Harbi mengusik kenanganku akan Bapak.
“Sejak pindah ke sini saya tidak lagi berhubungan dengan Bapak. Sepertinya Kakek sengaja menjauhkan kami. Mungkin karena Kakek sakit hati lantaran Bapak selalu menyakiti Ibu selama hidupnya,” kataku jujur.
“Bagaimana dengan keluargamu di Salatiga?”
“Itulah, Bu, saya sendiri tidak tahu,” kataku menggeleng pasrah. Kakek tidak pernah bercerita apapun tentang keluarga. Sepertinya Kakek sengaja mengasingkan diri bersamaku di sini.
“Kakekmu asli Salatiga. Ayahnya Belanda yang bekerja di kantor Pegadaian. Mungkin kakekmu pernah bercerita. Dia mempunyai dua orang saudara perempuan. Mereka tinggal di Salatiga dan mempunyai banyak keturunan, tidak seperti kakekmu yang hanya mempunyai ibumu. Ibu saya pernah mengunjunginya sewaktu ibumu menikah dengan bapakmu.”
“Kakek tidak pernah cerita itu semua,” sahutku lirih.
“Tidak pernah?” suara Bu Harbi terdengar tak percaya. Wanita itu menggeleng-geleng, merasa aneh. Seperti juga aku. Kadang-kadang aku merasa aneh sendiri dengan kehidupanku. Entah misteri apa yang dibuat Kakek untukku.
“Itu rumah Ibu, Conny!” Bu Harbi menunjuk rumah papan dari kayu hutan yang diterangi lampu listrik. “Terima kasih kau telah mengantarku pulang dan membiarkan tubuhmu kebasahan begitu,” kata Bu Harbi merasa tak enak hati.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya malah telah menemukan saudara. Dan itu imbalan yang sangat berharga buat saya,” kataku tulus.
Aku pun bergegas pergi, diikuti pandangan Bu Harbi yang merasa iba.

#Bersambung ke halaman berikutnyaaa...




0 komentar:

Post a Comment